Apa yang salah?
Seorang guru baru bernama Mary, mengajar di reservasi Indian Navajo. Setiap hari, ia meminta 5 murid Navajo maju ke papan tulis dan mengerjakan soal matematika sederhana dari PR mereka. Mereka berdiri di situ, diam, tak mau mengerjakan tugas itu. Mary tak mengerti. Yang telah dipelajarinya dr kurikulum pendidikan tidak bisa membantunya, dan tentu ia tak pernah melihat kejadian seperti ini waktu ia mengajar di Phoenix dulu.
"Apa salahku? Apakah aku memilih 5 murid yg tak mampu mengerjakan soal?" Mary bertanya-tanya dalam hati. "Ah, tak mungkin begitu." kata Mary dlm hati. Akhirnya ia bertanya pada muridny. Dan dari jwbn mereka, ia mendapatkan sesuatu yg mengejutkan--perihal citra diri dan harga diri.
Rupanya murid-murid itu saling menghormati temannya dan mereka tahu bahwa tak semua temannya mampu mengerjakan soal itu. Pada usia mereka yang muda, mereka sudah mengerti bahwa pendekatan menang-kalah dalam kelas itu tak masuk akal. Mereka percaya tak akan ada yg menang kalau ada murid yg dipermalukan di depan kelas. Jadi, mereka menolak bersaing di depan umum.
Setelah paham masalahnya, Mary mengubah sistem mengajarnya supaya ia dapat memeriksa pekerjaan setiap murid secara individual, tapi tdk mengorbankan muridnya di dpn teman-teman sekelasnya. Mereka semua ingin belajar--tapi tidak dgn mengorbankan org lain.
1:27 AM | Labels: Chicken Soup, insipiratif | 0 Comments
Harga rasa terima kasih
Waktu itu usiaku 13 thn. Ayahku sering mengajakku jalan-jalan naik mobil pada hari Sabtu. Kadang-kadang kami pergi ke taman, atau ke marina, melihat-lihat kapal. Kesenanganku adlh jalan-jalan ke pasar loak, tempat kami mengagumi benda-benda elektronik. Kadang-kadang kami membeli sesuatu seharga 50 sen dolar hanya utk dibongkar-pasang.
Dalam perjalanan pulang dr acara jalan-jalan ini, Ayah sering mampir ke Dairy Queen, membeli es krim 10 sen. Tidak selalu; tapi cukup sering. Aku tak bisa terlalu mengharapkannya, tapi aku bisa berharap dan berdoa sejak kami mulai berjalan pulang sampai tikungan penting itu, di mana kita dpt terus lurus membeli es krim / berbelok dan pulang dgn tangan hampa. Belokan itu berarti kesenangan yg mengundang air liur / kekecewaan.
Bbrp kali ayah menggodaku dgn mengambil jalan pulang yg pjg. "Kita lewat sini saja supaya tdk bosan," katanya, saat kami melewati Dairy Queen tanpa mampir. Tapi, hal itu hanya candanya saja, dan aku dibelikan es krim, sehingga hal spt itu bknlah siksaan.
Pada hari-hari yg paling menyenangkan, ia bertanya, dgn nada yg membuatnya terdengar tak lazim dan spontan, "Kamu mau es krim?" dan aku berkata, "Mau, Yah!" Aku selalu memilih rasa coklat, sedangkan Ayah rasa vanilla. Ia memberiku 20 sen dan aku berlari masuk, membeli yg biasa kami beli. Kami makan di mobil. Aku mencintai ayahku dan menyukai es krim--jadi, itulah surga bagiku.
Pada salah satu hari yg sgt penting itu, kami dalam perjalanan pulang, dan aku berharap dan berdoa agar bisa mendengar tawaranny yg dikatakan dgn suaranya yg merdu. Tawarannya pun tiba.
"Kamu mau es krim hari ini?"
"Mau, Yah!"
Tapi kemudian ia berkata, "Aku juga mau. Bagaimana kalau kamu yg mentraktir Ayah hari ini?"
Dua puluh sen! Dua puluh sen! Aku termenung. Aku bisa mentraktirnya. Uang jajanku seminggu 25 sen, plus uang tambahan utk pekerjaan sambilan. Tapi, menabung itu penting. Ayah sendiri yg bilang. Dan kalau yg dipakai uangku, es krim itu hanya menghambur-hamburkan uang saja.
Mengapa waktu itu tak terpikirkan olehku bahwa ini adalah kesempatan emas utk membalas kemurahan hatinya? Mengapa tak terpikir olehku bahwa ia sudah membelikanku 50 es krim, dan aku tak membelikannya satu pun? Tapi yg terpikir olehku hanyalah "20 sen!"
Dengan memendam perasaan egois, pelit, dan tak tahu terima kasih, aku mengucapkan kata-kata buruk yg terus terngiang di telingaku sampai hari ini, "Kalau begitu, tidak jadi." Papaku hanya berkata, "Oke."
Tapi, saat kami berbelok menuju rumah, aku menyadari betapa salahny aku dan memohonnya kembali. "Aku yang bayar," rengekku. Tapi ia hanya berkata, "Nggak usah, kita nggak perlu es krim kok," dan tak mendengar rengekanku. Kami pun pulang.
Aku merasa tak enak karena sikap egoisku dan tak tahu terima kasih. Ia tdk menyebut-nyebut hal itu lagi, dan juga tak kelihatan kecewa. Tapi justru sikap diamnya itulah yg meninggalkan kesan begitu dalam di hatiku.
Aku belajar bahwa kemurahan hati itu adalah jalan dua arah, dan rasa terima kasih kadang-kadang harganya lebih dari "terima kasih". Pada hari itu, rasa terima kasih mgkn harganya hanya 20 sen, dan es krim yg kudapat pasti yg paling enak.
Ada satu hal lagi yg hendak kuceritakan. Kami jalan-jalan lagi mggu depannya, dan saat mendekati belokan penting itu, aku berkata, "Yah, Ayah mau es krim? Aku yg traktir."
1:27 AM | Labels: Chicken Soup, insipiratif | 0 Comments
Perjalanan pulang yang panjang
Aku tumbuh di Spanyol Selatan di lingkungan masyarakat kecil bernama Estepona. Usiaku 16 tahun saat suatu pagi ayahku memberitahuku bahwa aku dpt mengantarnya ke desa terpencil bernama Mijas, sekitar 30km jaraknya, dgn syarat aku membawa mobil ke bengkel utk diservis. Karena baru saja bljr mengemudi, dan jarang mendapat kesempatan memakai mobil, aku lgsg setuju. Aku mengantar Ayah ke Mijas dan berjanji menjemputnya pada jam 4 sore, lalu mengantarkan mobil ke bengkel. Karena punya waktu luang bbrp jam, aku memutuskan menonton film di bioskop dekat bengkel. Namun,aku keasyikan nonton sehingga lupa waktu. Waktu film terakhir selesai, aku melihat jam. Sudah jam enam! Aku terlambat dua jam!
Aku tahu Ayah akan marah kalau ia tahu aku nonton film. Ia tak akan mengizinkanku memakai mobil lagi. Aku memutuskan memberi tahu bahwa mobilnya memerlukan perbaikan dan mereka memerlukan waktu lbh lama dr yg diperkirakan. Aku pergi ke tempat kami janji utk bertemu dan melihat Papa menunggu dgn sabar di ujung tikungan. Aku minta maaf karena terlambat dan mengatakan bahwa aku berusaha menjemputnya secepat mgkn, tapi mobilnya perlu diperbaiki. Aku tak akan pernah lupa pandangannya padaku.
"Aku kecewa karena kamu merasa perlu berbohong padaku, Jason."
"Apa mksd Ayah? Aku tdk berbohong."
Ayah memandangku lagi. "Waktu kamu tdk muncul, aku menelepon bengkel, menanyakan apakah ada masalah, dan mereka mengatakan bahwa kamu blm mengambil mobil. Jadi, aku tahu mobilnya tak ada masalah." Aku merasa bersalah, lalu mengaku bahwa aku menonton film dan itulah sebabnya aku terlambat. Ayah mendengarkan dgn sungguh-sungguh sambil merasa sedih.
"Aku marah bkn padamu, tapi pada diri sendiri. Begini. Aku merasa telah gagal menjadi seorang ayah kalau stlh bertahun-tahun kamu msh merasa perlu berbohong padaku. Aku gagal krn membesarkan anak yg bahkan tak dpt berkata terus terang pd ayahnya sendiri. Ayah akan berjalan pulang sekarang dan merenungkan kesalahan apa yg Ayah perbuat selama ini."
"Tapi Yah, perjalanan ke rumah itu 30km. Sekarang sudah gelap. Ayah jgn berjalan pulang."
Protes dariku, permintaan maafku, dan perkataanku yg lain sia-sia. Aku telah mengecewakan ayahku, dan aku akan belajar mengenai pelajaran yg paling menyakitkan dlm hidupku. Ayah mulai berjalan di sisi jalanan berdebu. Aku segera melompat ke dalam mobil dan mengikutinya, berharap ia akan menyerah. Aku memohon sepanjang jalan, mengatakan sangat menyesal, tapi ia tak mempedulikanku, terus berjalan diam, berpikir, dan menderita. Sepanjang 8 km aku mengemudi di belakangnya, kira-kira 8 km per jam.
Melihat ayahku menderita fisik maupun emosional adalah pengalaman yg paling menyakitkan dan menyedihkan. Namun, kejadian itu juga pelajaran yg paling sukses. Aku tak pernah berbohong lagi kepadanya sejak itu.
1:25 AM | Labels: Chicken Soup, insipiratif | 0 Comments
Sebuah hadiah untuk berdua
Hari itu hari yg indah utk berjalan-jalan di Portland. Kami adalah sekelompok konselor yg sedang libur, jauh dari orang2 yg berkemah, berjalan-jalan untuk santai. Cuacanya bagus utk piknik, jadi saat makan siang tiba, kami menuju sebuah taman kecil di kota. Karena memutuskan utk berpisah, membeli makanan yang diinginkan, dan kemudian bertemu kembali di lapangan rumput.
Waktu temanku, Robby, menuju penjual hot dog, aku memutuskan menemaninya. Kami memandang si penjual membuat hot dog yg enak, persis yg diinginkan Robby. Tapi saat temanku mengeluarkan uang utk membayar, si penjual mengejutkan kami.
"Tampaknya hot dog ini sudah kurang hangat." katanya, "jadi tak usah dibayar. Biar gratis saja."
Kami mengucapkan terima kasih, bergabung dgn teman-teman di taman, dan mulai makan. Tapi saat kami mengobrol dan makan, perhatianku terpecah ke seorang lelaki yg duduk sendirian di dekat situ, memandang kami. Kelihatan ia sudah berhari-hari tak mandi. Gelandangan lagi, pikirku, sama seperti gelandangan lain di kota-kota. Aku tak memperhatikannya lagi.
Kami selesai makan dan memutuskan melanjutkan berjalan-jalan. Tapi waktu aku dan Robby hendak membuang sampah, aku mendengar suara yg cukup keras bertanya, "Kotak makanan itu msh ada isinya, tidak?"
Rupanya lelaki yg memandangi kami tadi. Aku tak tahu harus berkata apa. "Tidak, semuanya sudah dimakan."
"Oh. ." cuma itu jawabannya, tanpa ada rasa malu dalam suaranya. Terlihat jelas ia sedang lapar, dan tak tahan melihat makan dibuang, dan ia sudah biasa menanyakan pertanyaan itu.
Aku kasihan pada lelaki itu tapi aku tak tahu harus berbuat apa. Saat itulah Robby berkata, "Tunggu di sini, aku pergi sebentar." lalu ia pergi. Aku memandang dgn rasa ingin tahu sementara ia menyeberang ke penjual hot dog. Lalu aku menyadari apa yg dilakukannya. Ia membeli sebuah hot dog, menyeberang kembali ke tpt sampah, lalu memberikan makanan itu pada si lelaki yg lapar.
Waktu ia kembali bergabung, Robby hanya berkata "Aku hanya meneruskan kebaikan yg diberikan padaku."
Hari itu aku belajar bagaimana kemurahan hati tidak berhenti pada orang yg kau beri. Dengan memberi, kau mengajar orang lain utk memberi juga.
1:24 AM | Labels: Chicken Soup, insipiratif | 0 Comments
Senyum
Ia tersenyum pada lelaki tak dikenal yg murung itu.
Senyum itu tampaknya membuat perasaannya lbh baik.
Lelaki itu teringat kebaikan seorang temannya dulu
dan menyuratinya utk berterimakasih.
Temannya sangat senang menerima surat itu
sehingga ia meninggalkan tip besar saat makan siang.
Si pelayan, terkejut melihat jumlah tip itu,
mempertaruhkan semuanya mengikuti firasatnya.
Besoknya ia mengambil uang yg dimenangkannya,
dan memberikan sebagian pada lelaki di jalan.
Lelaki di jalan itu merasa bersyukur;
karena sudah 2 hari ia tak makan.
Sesudah ia selesai makan,
ia pulang ke rumahnya yg sempit dan kumuh.
(Ia tak tahu pada waktu itu
bahwa ia mgkn akan menemui ajal.)
Dalam perjalanan ia memungut anak anjing yg kedinginan
dan membawanya ke rumah supaya hangat.
Anak anjing itu sangat bersyukur
tak lagi di luar didera badai.
Malamnya rumah itu terbakar.
Anak anjing itu menggonggong memberi peringatan.
Ia menggonggong hingga seluruh isi rumah terbangun
dan menyelamatkan semua orang dari bahaya.
Salah satu anak yg diselamatkannya
tumbuh dewasa menjadi Presiden.
Semua ini karena sebuah senyum yg tak membutuhkan uang 1 sen pun.
1:23 AM | Labels: Chicken Soup, insipiratif | 0 Comments
Suara seorang kakak
Sebagian besar orang memperoleh inspirasi dalam hidup mereka. Mungkin dari percakapan dgn seseorang yg kau hormati atau sebuah pengalaman. Apa pun bentuknya, inspirasi cenderung membuatmu memandang kehidupan dari sudut pandang yg baru. Inspirasiku berasal dari adikku Vicki, seseorang yang baik hati dan penuh perhatian. Ia tdk peduli akan penghargaan atau masuk dalam surat kabar. Yang diinginkannya hanyalah berbagi cinta dgn org yg dikasihinya, keluarga dan teman-temannya.
Pada musim panas sblm aku mulai kuliah tingkat tiga, aku menerima telepon dari ayahku yang memberitakan bahwa Vicki masuk rumah sakit. Ia pingsan dan bagian kanan tubuhnya lumpuh. Indikasi awal adalah ia menderita stroke. Namun, hasil tes memastikan bahwa penyakitnya lebih serius. Ada sebuah tumor otak ganas yg menyebabkannya lumpuh. Dokter hanya memberinya waktu kurang dr 3 bln. Aku ingat aku bertanya-tanya, bagaimana mgkn ini terjadi? Sehari sblmnya Vicki baik-baik saja. Sekarang, hidupnya akan berakhir pada usia bgtu muda.
Setelah mengatasi rasa kaget dan perasaan hampa pada awalnya, aku memutuskan bahwa Vicki membutuhkan harapan dan semangat. Ia memerlukan seseorang yg membuatnya percaya bahwa ia dapat mengatasi rintangan ini. Aku menjadi pelatih Vicki. Setiap hari kami membayangkan bahwa tumornya menyusut dan semua yg kami bicarakan bersifat positif. Aku bahkan memasang poster di pintu kamar rumah sakitnya yg bertulisan, "Kalau kau memiliki pikiran negatif, tinggalkan pikiran itu di pintu." Aku sudah berbulat hati utk membantu Vicki mengalahkan tumor itu. Kami berdua membuat perjanjian yg disebut 50-50. Aku akan berjuang 50% dan Vicki akan memperjuangkan 50% sisanya.
Bulan Agustus tiba dan kuliah tingkat tiga akan dimulai di universitas yg jaraknya 3000 mil dari rumah. Aku bingung, apakah aku harus pergi atau tetap menemani Vicki. Aku salah bicara, menyebutkan bahwa aku mungkin tak akan pergi kuliah. Ia menjadi marah dan menyuruhku utk tdk khawatir krn dia akan baik-baik saja. Jadi, malah Vicki, yg berbaring sakit di tempat tidur di rumah sakit, yang menyuruhku agar jangan khawatir. Aku sadar bahwa kalau aku tetap bersamanya, aku mgkn akan menyiratkan bahwa dia sedang sekarat dan aku tak mau ia berpikir begitu. Vicki harus yakin bahwa ia dapat menang melawan tumor itu.
Kepergianku malam itu, merasakan bahwa ini mgkn terakhir kalinya aku melihat Vicki dalam keadaan hidup, adalah hal yg tersulit yg pernah kulakukan. Selama kuliah, aku tak pernah berhenti memperjuangkan 50% bagianku utknya. Setiap malam sblm tidur, aku berbicara dengan Vicki, berharap ia dapat mendengarku. Aku berkata, "Vicki, aku sedang berjuang utkmu dan aku tak akan menyerah. Asalkan kau tak berhenti berjuang, kita dapat mengalahkan tumor ini."
Beberapa bln berlalu dan ia msh bertahan. Aku sedang berbicara dgn seorang teman yg lbh tua dan ia menanyakan keadaan Vicki. Aku bercerita bahwa kondisinya makin buruk, tapi dia tak menyerah. Temanku melontarkan suatu pertanyaan yang benar-benar membuatku berpikir. Katanya, "Menurutmu, apakah dia bertahan itu karena dia tak mau mengecewakanmu?"
Mgkn perkataannya benar? Mgkn aku egois, menyemangati Vicki utk terus berjuang? Malam itu sblm tidur, aku berkata padanya, "Vicki, aku mengerti kau sangat menderita, dan mgkn kau ingin menyerah. Kalau memang begitu, aku mendukungmu. Kita tidak kalah karena kau tak pernah berhenti berjuang. Kalau kau ingin pergi ke tpt yg lbh baik, aku mengerti. Kita pasti bersama lagi. Aku menyayangimu dan aku akan terus bersamamu dimana pun kau berada. . ."
Keesokan paginya, Ibuku menelepon, memberi tahu bahwa Vicki telah meninggal. .
1:22 AM | Labels: Chicken Soup, insipiratif | 0 Comments
Aku sudah pulang
Notes : aku -> Jennie Garth , aktris , Beverly Hills 90210
Tahukah kamu bagaimana org mengatakan bahwa mereka tak pernah menyadari betapa mereka mencintai masa kecil mereka sampai mereka dewasa? Tapi, aku selalu tahu bahwa aku menjalani masa kecil yg indah waktu berlangsungnya masa itu. Baru di kemudian hari,waktu keadaan sedang sulit,aku bergantung pada kenangan kebahagiaan itu dan menggunakannya utk mencari jalan pulang.
Aku dibesarkan di peternakan dlm sebuah keluarga besar. Disana terdapat bnyk cinta, bnyk ruang, dan bnyk pekerjaan. Dari berkebun sampai memotong jerami, dari bekerja dgn kuda sampai melakukan pekerjaan rumah tangga, kata "bosan" tak pernah ada dalam kosa-kataku -- aku mencintai smuanya dan tak satu pun terasa spt pekerjaan. Tak ada tekanan dri lingkungan teman sebaya, karena "kelompok" yg bermain bersamaku hanyalah kelompok hewan di peternakan. Aku dan keluargaku sangat dekat, dan tinggal di pedesaan membuat kami berada di rumah hampir setiap malam. Setelah makan malam, aku dan saudaraku bermain atau bercerita, tertawa dan bersenang-senang sampai waktunya tidur. Tidur tak pernah jadi masalah bagiku. Aku tinggal mendengarkan suara jangkrik dan memimpikan hari berikutnya di peternakan. Itulah hidupku, dan aku tahu aku beruntung.
Waktu aku berusia 12, sesuatu yg tragis terjadi yang akan mengubah hidupku selamanya. Ayahku mengalami serangan jantung berat dan mengalami bypass tripel. Ia didiagnosis menderita penyakit jantung turunan, dan itulah masa yg menyeramkan utk kami semua. Dokter memberi tahu ayahku bahwa ia harus mengubah gaya hidupnya secara drastis, yang berarti tak boleh melatih kuda, tak boleh mengendarai traktor. . . tak ada lagi kehidupan peternakan. Menyadari kami tak dapat mengurus rumah tanpa Ayah, kami terpaksa menjual rumah kami dan pindah ke barat, meninggalkan keluarga dan teman dan satu-satunya kehidupan yg kukenal.
Udara Arizona yg kering meringankan penyakit ayahku, dan aku menyesuaikan diri dgn sekolah baru, teman baru, dan cara hidup baru. Mendadak aku banyak berkencan, jalan-jalan di Mal, dan menghadapi tekanan menjadi seorang remaja. Keadaannya berbeda dan aneh tapi jg menyenangkan. Aku belajar bahwa perubahan, biarpun tak diinginkan, bisa menjadi hal yg baik. Aku tak tahu waktu itu bahwa hidupku akan berubah lagi, dan berubah bnyk.
Aku didekati oleh manajer personalia dari Los Angeles yg menanyakan apakah aku pernah memikirkan akting. Hal itu tak pernah terlintah dalam pikiranku, tapi krn disebutkan, minatku terpicu. Setelah memikirkannya matang-matang dan membicarakannya dgn ayah dan ibuku, kami memutuskan bahwa aku dan ibuku akan pindah ke L.A. utk sementara dan mencobanya. Aku belum sadar dunia apa yg akan kumasuki!
Untunglah ibuku berada disisiku sejak awal. Bersama-sama, kami mendekatinya spt suatu petualangan, dan sementara karierku berkembang, aku pun berkembang. Pada waktu beverly Hills, 90210 menjadi sukses, aku dan ibuku sdh memutuskan bahwa sudah waktunya baginya pulang ke Arizona dan keluarga kami. Gadis kecil dari peternakan sudah menghilang dan digantikan wanita dewasa di kota besar.
Aku sungguh mencintai pekerjaanku dan kesuksesanku lbh dr yang pernah kuimpikan. Tapi. . . ada sesuatu yg hilang. Perlahan-lahan kehampaan gelap menghuni hatiku dan mulai menggerogoti kebahagiaanku.
Aku mencoba menemukan apa yang hilang. Aku mencoba bekerja lebih keras, kemudian bekerja lbh santai. Aku menjalin persahabatan baru dan kehilangan kontak dgn teman lama. Tak ada yg kulakukan yg dpt mengisi kehampaan itu. Aku menyadari bahwa aku tak akan menemukan penyelesaian masalahnya sementara mengunjungi club dan pesta yg tanpa akhir, dan hidup di jalur cepat. Aku mencoba mengingat kapan aku merasa paling bahagia, kapan hal-hal dalam hidupku terasa paling berarti. Aku bertanya pada diriku apa yang penting bagiku. Akhirnya, aku mendapatkan jawabannya. Aku tahu apa yg harus kulakukan agar merasa bahagia. Sekali lagi, hidupku akan berubah.
Aku menelepon ibu dan ayahku dan berkata, " Aku sangat merindukan kalian. Aku ingin mendapatkan orangtuaku kembali. Aku akan membeli sebuah tempat disini dan aku ingin kalian pindah ke California." Ayahku tak terlalu senang harus pindah lagi, tapi aku meyakinkannya bahwa kali ini, keadaannya tak akan seperti dulu. Jadi, kami mulai mencari rumah di luar kota -- tempat yang lengkap dgn hewan berlarian dan kebun penuh sayuran yang menunggu dipetik utk dihidangkan di meja makan. Tempat yang bisa menjadi rumah keluarga, tempat semua org dpt berkunjung. Tempat berkumpul pada waktu libur. Tempat berteduh, aman dari dunia luar. Tempat yg kuingat, tempat aku tumbuh.
Lalu, suatu hari kami menemukannya : peternakan yg sempurna, terletak di lembah yg hangat dan bermandikan matahari. Impianku menjadi kenyataan. Kehampaan gelap yg menggerogoti di dlm diriku mulai pudar, dan perasaan seimbang dan tenteram kembali memenuhi jiwaku. Aku sudah pulang.
12:57 AM | Labels: Chicken Soup, insipiratif | 0 Comments